ARTIKEL

Tuesday, October 26, 2010

Untuk Anak Perempuanku

Pagi itu, hari Kamis tanggal 21 Mei 2009, menjelang berangkat shalat subuh ke masjid dekat rumah, sengaja kubangunkan anak pertamaku, Rafifa, untuk kucium dan kuberi ucapan “Selamat Ulang Tahun” yang ke-15. Kemudian isteriku mengikuti dari belakang dan melakukan hal yang sama. Tidak banyak yang bisa kukatakan kepadanya pada hari itu karena setelahnya ia harus berangkat ke sekolah. Siang harinya, aku harus berangkat ke Bandara Changi untuk terbang ke Jakarta melaksanakan perjalanan dinas.

Aku baru bisa bertemu lagi dengannya pada Sabtu malem, sepulang dari Jakarta. Isteri dan kedua anakku menjemputku di bandara untuk kemudian kami makan bersama di sebuah restoran Korea di dalam gedung bandara. Seperti biasa, acara makan kami isi juga dengan berbagai obrolan ringan layaknya orangtua dengan anak-anaknya. Kadang kami saling mengejek, bercanda dan bahkan “bertengkar” tentang sesuatu hal yang ringan. Saat-saat mengalami peristiwa seperti itu, tidak lupa aku senantiasa beryukur atas kebersamaan kami, kesehatan kami dan segala hal, baik kelebihan maupun kekurangan kami.

Setiba di rumah, meskipun malam sudah agak larut, aku dan isteriku sengaja mengajak Rafifa untuk mengobrol mengenai banyak hal, terutama menyangkut usianya yang semakin beranjak dewasa. Sementara pada saat bersamaan, anakku yang kedua, Hanif, sudah masuk ke kamarnya untuk tidur. Obrolan khusus seperti itu selalu kami lakukan pada anak kami di hari ulang tahunnya masing-masing, dengan isi obrolan yang tentu saja disesuaikan dengan usianya. Target kami tidak lain sekedar memanfaatkan momentum untuk lebih mengenal jati diri dan memaknai arti beranjaknya usia merekayang kian bertambah. Biasanya, dari obnrolan semacam itu akan kami dapatkan hikmah, tidak hanya bagi anak-anak kami, tetapi juga bagi kami berdua sebagai orang tua dan pasangan suami-isteri.

Yang lebih kami tekankan kepadanya saat itu adalah bahwa dirinya kini sudah aqil baligh, sudah dewasa dan di mata agama sudah terkena kewajiban melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang ataupun diharamkan agama. Semua perbuatan sudah menjadi tanggungan pribadi untuk dipertanggung-jawabkan di akhirat kelak. Saya mencoba mengingatkannya mengenai perlunya terus bersyukur terhadap yang dimiliki serta jangan pernah merasa uzub, takabur dan ria. Pertanyaan yang sering saya lontarkan adalah, “Ingat ya Mbak, (saya biasa memanggilnya ‘mbak’) pesen ayah, sering-seringlah bersyukur dan mempertanyakan siapa dirimu”.

Hal paling rawan yang saya dan isteri rasakan dan menganggap sangat perlu untuk mendapat perhatian lebih darinya adalah mengenai perlunya seorang wanita memiliki prinsip dan pandangan hidup yang agamis. Antara lain saya coba jelaskan padanya bahwa wanita mempunyai kedudukan sangat mulia, tidak hanya karena ia menjadi ibu dan isteri dalam keluarga, tetapi juga peran pentingnya dalam kehidupan suatu bangsa. “Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak wanitanya”, merupakan salah suatu prinsip yang saya sampaikan kepadanya saat itu. Sesuai dengan sejarah peradaban manusia, wanita bisa menjadi penopang namun juga penghancur sebuah kekuasaan. Karenanya, sangat beralasan bila Rasulullah mengingatkan bahwa bhakti paling tinggi seorang anak adalah “berbhakti kepada ibumu, lalu ibumu, sesudah itu ibumu… dan kemudian ayahmu..!”

Hal lain yang juga kami tekankan adalah mengenai hubungan pria dan wanita yang saat ini terlihat cenderung bebas dan kurang memperhatikan moralitas. “Mbak Ifa boleh-boleh saja senang, simpati pada lawan jenis.. itu adalah hal yang wajar dan alami, Mbak.. tapi harus ingat rambu-rambu agama”, demikian isteriku mengingatkan. Kemudian ditambahkannya, “Jangan sampai terperosok pada hayalan, angan-angan semu yang akhirnya terbawa nafsu.. Bila sudah begitu, akhirnya membuang-buang waktu dan menuai banyak dosa..!” Seperti biasa, bila kami sudah berbicara serius, ia akan terdiam menjadi pembicara yang baik.

Karena obrolan kemudian berfokus pada masalah kewanitaan, aku lebih banyak diam dan membiarkan isteriku yang memegang kendali pembicaraan. Beberapa hal prinsip yang disampaikan isteriku antara lain. “Jodoh itu di tangan Allah”, “Wanita yang baik, akan mendapatkan laki-laki yang baik pula”, dan “Cinta sesungguhnya antara pria dan wanita hanya ada pada pasangan yang telah menjadi suami-isteri, selain itu hanyalah nafsu.”, serta “Jagalah keutuhan dan kesucianmu untuk kau persembahkan kepada suamimu kelak”. Isteriku pun tidak lupa mengingatkan bahwa karena mulyanya kedudukan wanita, orang tua punya kewajiban untuk menjaga dan membimbingnya. Sempat juga aku menyela,”Suka atau tidak suka, Mbak.. Ayah sama Bunda punya kewajiban, sebagai amanah dari Allah, untuk selalu mengingatkanmu.. sampai Mbak Ifa berumah tangga, menjadi milik suami nantinya.. Selama mbak Ifa masih menjadi milik orang tua, harus patuh dan nurut sama Ayah dan Bunda. Yakinlah, bahwa tidak ada orang tua yang berniat jelek terhadap anaknya..”

Tidak jarang bila kami berbicara bertiga seperti itu, selanjutnya akan diakhiri dengan tangisan bersama, khususnya diantara kedua ‘wanita’ku, yaitu isteri dan anakku. Lalu akan kami rangkul, peluk dan sambil kami usap-usap kepalanya, kami akhiri dengan ucapan, ”Jadilah anak yang shalehah ya Mbak.. dan bimbing, beri contoh adikmu.. amin.”

Bila isteriku sedang menyampaikan “tausiyah” kepada anak perempuannya mengenai prinsip-prinsip hidup yang harus diingat dan dipegang oleh wanita, dengan bangga aku biasanya menegaskan kepadanya, “Contohlah Bunda, Mbak.. Banyak belajarlah dari Bunda… Ayah, sebagai laki-laki, suami dan kepala rumah tangga, merasa bersyukur dan bangga mendapatkan isteri Bunda yang telah mengandungmu, menyuapimu sejak kecil.

Saat-saat kami menjalani masa ‘perjuangan’, terseok-seok menjalani kehidupan, Mbak, Bunda lah yang begitu tegar menjadi pelindung Ayah, penasehat dan pendorong semangat untuk terus berjuang dan beribadah dengan ikhlas.. menjalani semua pemberian-Nya dengan sabar dan tawakal..”. Akupun menambahkan, “Bunda selalu mengingatkan Ayah, agar tidak tergoda oleh nafsu dunia dan kekuasaan.. agar tidak pamrih dalam bekerja dan.. dimana pun kita berada, hendaklah memberi manfaat bagi sesama..”

“Begitu banyak pengorbanan yang telah diberikan Bunda buat kita, Mbak. Bunda telah merelakan karirnya, berhenti kerja demi memberikan perhatian penuh bagi keluarga….Tahu, nggak..? Bila Ayah sedang ‘suntuk’ dan uring-uringan, biasanya Bunda akan mengingatkan bahwa itu semua kan urusan dunia.. tidak usah terlalu menguasai hati dan pikiran, karena Allah akan memberikan jalan keluar untuk setiap persoalan.. Yang sabar aja, ya Yah!” Lalu aku pun menutupnya dengan pernyataan yang melankolis, “Mudah-mudahan Mbak Ifa kelak bisa seperti Bunda, menjadi isteri, ibu dan pendamping suami yang sholehah..!”.

Aku memang terkadang sangat sentimentil bila berbicara mengenai peran wanita dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, khususnya ketika bercerita terhadap anak perempuanku. Entah berapa kali sudah, kuulang-ulang kisah perjalanan hidup kami untuk menjadi pelajaran hidup yang berharga baginya kelak. Selalu kutegaskan bahwa prinsip-prinsip hidup bagi wanita, yang sering disampaikan ibunya, bukanlah sekedar teori dan jargon semata, tetapi memang telah dialami dan mampu dibuktikan.

Setelah kami selesai ngobrol bertiga, aku dan isteriku biasanya melanjutkan obrolan berdua sambil berbaring di kamar, sebagai “pillow talks”, pengantar tidur. Namun, tidak jarang, obrolan kami bisa memakan waktu cukup lama karena merasakan begitu nikmatnya bertukar fikiran diantara sepasang suami dan isteri. Bahkan pernah suatu malam, akhirnya kami tidak tidur hingga waktu shubuh datang. Karena “terlena” dengan topik pembicaraan, saat kulihat jam dinding waktu sudah menunjukkan pukul 05.15 pagi, yang berarti 20 menit menjelang adzan subuh waktu Singapura saat itu.

Diantara obrolan yang sering menjadi topik utama adalah angan-angan dan keinginan mengenai bentuk dan sosok kepribadian anak-anak kami di masa depan. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa untuk mewujudkannya tidaklah mudah, begitu banyak tantangan terbentang nyata di depan mata. Dengan keberadaan saya sebagai pegawai Kemlu yang berstatus diplomat, kami sekeluarga selalu berpindah-pindah tempat tugas, sehingga anak-anak pun mengalami pergantian lingkungan pendidikan dan pergaulan terus menerus.

Yang paling kami khawatirkan dan kami tidak inginkan adalah, bahwa dari rahim isteriku kelak, kemudian tercipta generasi baru yang kehilangan akar budaya (Indonesia), identitas dan moralitas (Islam). Bila itu yang kemudian terjadi, kami akan merasa berdosa, karena ikut berpartisipasi aktif dalam gerakan gelombang dekadensi kepribadian bangsa.

Sungguh bukan hal yang mustahil, bahwa kelalaian kami dapat mengakibatkan tercipta sosok anak-anak kami yang tidak bisa berbahasa Indonesia (karena selalu sekolah dengan pengantar bahasa asing/Inggeris), tidak berperilaku santun dan hormat pada orang tua (karena lingkungan pergaulan), tidak kenal dan memahami asal usul orang tuanya, dan.. yang paling parah adalah.. Mereka lupa pada Tuhannya.! Naudzubillahi mindzalik.. ! Aku berlindung kepada Allah.. untuk selalu diberi kesadaran dan kemampuan dalam menjaga keluargaku..!

---