ARTIKEL

Monday, October 25, 2010

Guru dan Muridnya

Saat itu kami sekeluarga masih tinggal di Copenhagen, Denmark, sehubungan dengan penugasan saya sebagai kasubid Pensosbud di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kopenhagen. Bermula di hari Minggu, sekitar bulan Februari 2004, saat kami sekeluarga sedang di rumah, saya mendengar bahwa pejabat baru di Unit Komunikasi KBRI Copenhagen baru saja tiba dari Jakarta dan untuk sementara tinggal di hotel, sambil menunggu hingga mendapatkan sewaan rumah.

Saya memperkirakan bahwa pejabat baru tersebut kemungkinan belum pergi kemana-mana, masih melepas kelelahan di hotel. Apalagi, menurut informasi, ia datang sendiri, belum bersama keluarga. Karenanya, saya pun tiba-tiba terbersit ide dalam pikiran untuk mengajaknya main ke rumah sambil maka siang bersama, yang ternyata ide saya tersebut disambut baik oleh isteriku.

Setelah menelpon ke driver di Kantor untuk meminta tolong agar menjemput Ybs, akhirnya kami pun duduk bersama mengelilingi meja makan di rumah sambil ngobrol-ngobrol ringan dan kenalan. Pak Neddy, begitulah nama pejabat baru tersebut, ternyata asli Cimahi, meskipun keturunan Jawa. Lalu saya pun menjelaskan bahwa masa kecil saya pun dulu di Cimahi hingga kelas dua SMP (tahun 1976), karena orang tua adalah tentara yang sedang ditugaskan di Cimahi. Teryata rumah orang tua Pak Neddy di Cimahi berdekatan dengan tempat tinggal kami semasa di Cimahi dulu, yatu di Warung Contong, dekat Gunung Bohong. .

Setelah berbicara dan tukar pengalaman, kami pun akhirnya merasa akrab, layaknya dua orang yang sudah kenal cukup lama. Hingga akhirnya, Pak Neddy pun mengajukan pertanyaan, “Pak Djatmiko dulu SMP nya dimana?”. Lalu saya jawab, “di SMPN 2 Cimahi Pak?”.

Kemudian Pak Neddy pun menanyakan apa masih ingat beberapa guru yang mengajar saya, yang saya jawab bahwa sebagian masih saya ingat. Sampailah kemudian pada pertanyaan, apakah saya masih ingat nama guru olah raga waktu itu. Saya sebutkan satu-persatu, hingga Pak Neddy pun mengatakan, “Mungkin ada satu lagi yang belum disebut?”, katanya.

Mendengar pertanyaan itu, saya sempat berpikir keras untuk membayangkan kembali masa-masa ketika masih di SMP dulu, sekitar 30 tahun lalu, hingga muncul lah dalam ingatan saya tentang seorang guru olah raga dimaksud, lalu secara spontan saya pun berkata, “Ya..ya.. ada lagi, namanya Pak Dirman.. Sudirman, ya.. betul.. Pak Sudirman..” Kataku. Pak Neddy dengan spontan pula menjawab,”Ya.. itulah Bapak saya..!”

“Masya Allah.. Terus, dimana beliau, Pak..? Apakah masih sehat dan bagaimana sekarang?”, ungkap saya dengan nada terkejut dan penasaran. Berbagai pertanyaan saya ajukan sehubungan dengan keadaan Pak Sudirman, guru saya, yang adalah ayahnya Pak Neddy tersebut. Ternyata, menurut Pak Neddy, beliau masih sehat dan tetap aktif berolah raga. Setelah tua dan pensiun, kegiatan Beliau sehari-hari di rumah utamanya adalah ‘momong’ cucu dan seminggu dua kali main tenis untuk hiburan. Adapun isteri Pak Dirman (ibunya Pak Neddy) sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

“Insya Allah mau saya ajak kesini Pak, kasihan.. biar tahu luar negeri..lah.” Kata Pak Neddy sambil bercanda. “Ya.. betul Pak. Alhamdulillah, mudah-mudahan bisa ketemu nih..!” Kataku sambil tetap tidak bisa menyimpan rasa penasaran saya terhadap salah satu guruku semasa masih kecil.

Waktu pun berlalu yang diwarnai berbagai dinamika kehidupan sehari-hari di Kopenhagen sehingga tak terasa setahun telah berlalu sejak perbincangan saya dengan Pak Neddy di rumah saat itu. Suatu sore, saat di KBRI sedang ada kegiatan olah raga bersama, datanglah Pak Neddy menghampiri saya dengan didampingi seorang lelaki tua yang badannya masih tegap dan sehat disertai senyum di bibirnya. Tentu saja saya ‘kaget’ karena saya masih ingat betul bahwa lelaki tua itu adalah Pak Sudirman, guru saya ketika di SMP. Subhanallaah..! Saya sungguh tidak pangling karena tidak ada yang berubah dari penampilannya, selain bahwa ia terlihat semakin tua.

Tiga puluh tahun yang lalu saya adalah murid beliau. Yang saya ingat betul mengenai guru saya yang satu ini adalah pembawaannya yang selalu tenang, mengajar penuh dengan kesabaran dan tidak pernah lupa senantiasa tersenyum pada setiap siswa. Saya juga ingat betul saat pertama kali diberi pelajaran olah raga bola basket oleh Pak Dirman pada pelajaran ekstra kurikuler sore hari, dengan memakai sepatu ayah saya yang ukurannya sedikit lebih besar. Saat itu jari tengah saya terkilir ketika mencoba menahan bola, yang ternyata cukup berat melebihi yang saya perkirakan. Saya diam saja, karena malu, namun justeru itulah peristiwa yang mengesankan bagi saya mengenai beliau.

Dengan tidak sabar, saya pun balas menghampiri dan mendahului menegur Beliau, “Apa Khabar Pak, saya Djatmiko, salah satu murid Bapak di SMP dulu.. Alhamdulillah kita bisa ketemu disini ya Pak..!”, kataku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Perkenalan ini perlu saya sampaikan, karena saya maklum betul bahwa beliau belum tentu masih ingat dengan saya. Saya bukanlah siapa-siapa, selain hanyalah seorang murid yang tidak memiliki keistimewaan apapun dari sekian ribu mantan muridnya di SMP dulu.

Yang sangat menonjol dari pertemuan tersebut adalah bahwa Pak Dirman seperti terbata-bata, roman mukanya terlihat gembira dan menahan keharuan. Untuk mencairkan suasana, saya pun lalu bercerita mengenai situasi semasa saya masih menjadi muridnya dulu, dibumbui dengan beberapa kejadian ringan mengenai dinamika kehidupan semasa menjadi muridnya saat itu. Keakraban lalu semakin terasa. Kami pun kemudian melewatkan hari-hari selanjutnya dengan sering bermain Tenis bersama di waktu senggang dan saling kunjung. Tentu saja, sebagai guru olah raga, meskipun usia sudah terbilang tua, Beliau adalah pemain tenis yang handal.

Waktu terus berjalan, hingga setelah beberapa bulan bersama, tibalah saatnya Pak Dirman kembali pulang ke Tanah Air, ke rumahnya di Cimahi. Kami pun berpisah, dengan janji Insya Allah akan ketemu lagi di Cimahi. “Saya akan kunjungi Bapak di CImahi, Pak, Insya Allah nanti setelah kembali ke Indonesia, selesai penugasan disini”, Begitulah janji saya saat itu.

Setahun kemudian setelah pertemuan kami, tepatnya bulan Januari 2006, saya selesai tugas dan kembali ke Tanah Air bersama keluarga. Saya dan Pak Neddy masih sering berkomunikasi, meskipun sebatas lewat telpon untuk slaing mengabarkan keadaan masing-masing. Hingga suatu ketika, saat kai berkomunikasi, saya tanyakan keadaan Pak Dirman, Ayahnya. Saat itu Pak Neddy menjelaskan bahwa Beliau sedang sakit dan sempat di rawat di rumah sakit. Meski keadaan kesehatannya sempat membaik, namun kemudian cenderung memburuk. Pak Neddy setiap minggu selalu ke Cimahi untuk menengok dan menungguinya.

“Kemarin, waktu saya pulang, saya bilang ke Bapak bahwa Pak Djatmiko titip salam.. dan mohon maaf belum sempat main kesini karena masih sibuk.. Tapi, Insya Allah akan main kesini lain kali” Demikian carita Pak Neddy saat itu. Lalu ditambahkannya, “Waktu saya bilang begitu, Bapak hanya ngangguk-ngangguk sambil tersenyum… lalu dia palingkan mukanya ke sebuah foto yang tergantung di dinding kamar.. Itu lho, fotonya Bapak berdua sama Pak Djatmiko, pake jas, sehabis upacara tujuh belasan..”

“Iya..iya Pak.. saya inget..” Kata saya.

“Wah.. Bapak bangganya bukan main sama foto itu.. Waktu baru pulang dari Denmark, yang diceritain ke temen-temen dan tetangga itu.. ya Pak Djatmiko, sambil menunjukkan foto itu. Katanya, ini foto saya bersama murid saya.. dia sekarang jadi diplomat di Denmark..”

"..Sampai sekarang, setiap ada orang yang bezuk, nengokin ke rumah, selalu saja cerita mengenai foto itu..” Tambah Pak Neddy.

“Iya Pak.. iya Pak..” Hanya itu yang bisa saya katakan karena tiba-tiba saya jadi terharu. Hati saya ikut terhanyut membayangkan kebanggaan seorang guru yang bertemu lagi dengan muridnya. Ia begitu bangga dan bahagia karena ternyata, menurutnya, si murid telah menjadi orang “sukses”. Hanya itu rupanya kebahagiaan paling dirasakan seorang guru. Ia tidak minta balasan apapun juga kecuali menjadikan para muridnya kelak menjadi orang-orang yang sukses dan bahagia…

Kurang lebih seminggu setelah percakapan terakhir kami, suatu siang Pak Neddy menghubungiku dan menyampaikan berita duka bahwa ayahnya, Pak Dirman, telah berpulang ke rahmatullah, dipanggil yang Maha Kuasa. “Saya hanya bisa menyampaikan maaf, atas nama almarhum, apabila ada kesalahan dan kekhilafannya selama ini..“

Saya terdiam. Kaget, bingung dan sedih bercampur jadi satu. Betapa tidak. Lagi-lagi saya terlambat... ! Beberapa hari sebelumnya saya dan isteri memang merencanakan untuk menengok almarhum di rumahnya di Cimahi, sambil bersilaturahmi.. Innalillaahi wa innailaihi roji’un.. Ternyata beliau telah mendahului kami, karena ajal lebih dulu menjemputnya sebelum kami sempat bertemu lagi..

Selamat jalan Pak Dirman.. Kami do’akan semoga Allah mengampuni segala kekhilafan dan menerima semua amal kebaikan Bapak selama di dunia. Jasamu, kesabaran dan ketabahanmu senantiasa menjadi inspirasi kami untuk terus melanjutkan perjalanan hingga batas akhir di kemudian hari.

"Murid dan Guru", (Copenhagen, 2005), kami bertemu setelah 30 tahun berlalu, sejak di SMPN 2 Cimahi dahulu. Beliau (Pak Dirman) telah meninggal 2 tahun setelahnya, dan foto ini tergantung di kamar hingga akhir hayatnya, sebagai kebanggaan terhadap muridnya.