ARTIKEL

Thursday, January 28, 2010

Hikmah Kebersamaan

Sekitar pertengahan tahun 1990, saya sedang mengikui pendidikan Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Angkatan-XVI bertempat di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Jl Sisingamangaraja 73, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. sudah sekitar 4 bulan hal itu berlangsung, mengarungi dunia baru yang tidak semua orang berkesempatan mendapatkannya. Teman-teman sekelasku berasal dari berbagai penjuru Tanah Air, sebagai hasil seleksi Deplu, baik dari seleksi Pusat (di Jakarta), maupun seleksi Daerah seperti yang kualami.

Setelah 2 jam pelajaran berlalu saat itu, tibalah waktunya makan siang sehingga aku pun keluar dari ruang kelas bersama teman-teman lainnya. Baru beberapa langkah kakiku berlalu, salah seorang staf Pusdiklat memberitahuku bahwa ada seorang tamu yang mencariku dan sedang menunggu di lantai 1. Akhirnya kuputuskan untuk menemuinya dan segera ke tempat dimaksud. Menjelang tiba di ruang yang kutuju, sudah terlihat dari kejauhan sosok seorang laki-laki yang aku hafal betul namanya, yaitu Soni, salah seorang teman dekatku semasa kami sama-sama kuliah di Semarang dulu. Ia melihatku dengan tersenyum dan pandangan bangga.

Kami langsung berjabat tangan, lalu aku pun menyapanya: “Assalamu’alaykum, Son, apa khabar? Kok bisa sampai sini? Udah dapat kerja ya di Jakarta?”. Aku berondong ia dengan pertanyaan macam-macam, karena merasa “surprised” dan senang bisa bertemu teman lama. Maklum, kami berdua termasuk anggota kelompok “pencari keadilan” yang senasib sepenanggungan ketika menjalani masa-masa “pengangguran” selepas kuliah mencari kerja di Semarang dulu. Tiada hari tanpa kebersamaan saat itu. Meski masih nganggur, namun waktu yang dimiliki tetap kami isi dengan berbagai kegiatan, khususnya yang bisa mendatangkan sedikit “masukan”.

“Khabar baik, Djat?” Katanya sambil geleng-geleng kepala dan tetap mempertahankan senyumnya yang khas.

“Syukurlah.. terus ada apa nih? Apa ada yang bisa saya bantu? Tinggalmu dimana?” Kataku memberondong dengan pertanyaan.

“Enggak...enggak ada apa-apa Djat. Aku kebetulan ada keperluan di Jakarta, dan sengaja mampir kesini ingin ketemu kamu” Tambahnya.

“Wah.. matur nuwun, yo. Tapi, aku nggak bisa kemana-mana lho, Son! Maklum, lagi pendidikan nih.” Jawabku

“Ora popo, Djat. Aku kesini yo cuma ingin ketemu kamu.. alhamdulillah sekarang sudah ketemu”, katanya. Lalu, ia pun berkata, “Saya hanya ingin ketemu kamu aja kok, dan… (ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimat berikutnya).. ingin lihat seperti apa sih wajahmu kalo pake dasi...”

Aku jadi bingung. Ada apa ini?. Belum sempat berpikir lebih jauh, ia sudah mendahuluiku bicara, “Yo wis Djat, sukses Yo! Aku pamit, ora ono opo-opo. Aku udah puas lihat kamu pake dasi...aku bangga, Djat... Sukses ya.! Assalamu’alaikum”. Lalu ia pun meninggalkanku yang masih termangu dengan penuh tanda tanya.

Sahabatku itu terlihat begitu gembira meninggalkanku untuk berpisah mengarungi jalan hidup masing-masing. Menurutnya, aku telah berhasil mendapatkan pekerjaan yang patut dibanggakan oleh teman-teman. “Yo wis, Son. Kita tetap silaturahim, ya! Insya Allah ketemu maneh.. Kamu juga sukses, segera dapat “tempat” (yang kumaksud adalah pekerjaan).!” Kataku. Kalimat terakhir yang saya masih ingat betul adalah. “Aku nanti akan cerita ke teman-teman di Semarang, bahwa sudah ketemu kamu disini... dan aku sudah melihatmu pake dasi, hehehe..! Yo wis, Djat.. Sukses yo!” Ia masih sempat berbalik lagi untuk mengulang pamitnya dan menyalamiku.

“Setiap manusia punya jalan hidup masing-masing”. Saya percaya itu sebagai suatu kepastian dari Sang Pencipta. Namun, seringkali ketika saya renungkan semua lagkah yang telah lalu, ternyata tidak bisa dipungkiri bahwa semuanya sudah dipersiapkan oleh keadaan. Demikian halnya aku dan teman-temanku di Semarang dulu. Yang saya rasakan, meskipun kami masih berstatus “informal worker” alias pengangguran, kami semua seakan tidak mempermasalahkannya. Kebersamaan dan persaudaraan dalam berbagai kegiatan mengisi waktu luang telah melahirkan sosok-sosok pribadi yang optimis. Masa menganggur tidak dipandang sebagai masa ketidakpastian namun masa transisi yang harus dilalui dari dunia akademik menuju dunia kerja.

Karena kebersamaan itulah, kemudian telah tercipta “ukhuwah” yang kental, dalam mengamalkan kebenaran bahwa “Sesungguhnya sesama Muslim itu bersaudara”. Begitu banyak pengalaman kudapatkan selama “masa transisi” tersebut yang kemudian menjadi bekal berharga pada saat memasuki dan mendiami “dunia kerja”. Setidaknya, pengalaman pergaulan, cara memandang sebuah persoalan, kesadaran mengenai takdir dan ketidak-berdayaan manusia sebagai hamba-Nya, arti penting sabar, tawakal dan keharusan punya niat yang lurus dalam segala hal, merupakan bagian dari begitu banyak hikmah yang diperoleh selama menjalani “masa transisi”.

Diantara dinamika kebersamaan yang terjadi, kami selalu berbagi informasi mengenai lapangan kerja, bertukar pikiran tentang masa depan, saling membantu dalam kesulitan. Alhamdulillah.. meski semuanya tetap berstatus “anak kost”, namun kami tetap mampu bertahan (survive) tanpa harus mengandalkan beasiswa bulanan dari orang tua di desa.

Bila mengenang semua itu, aku merasa sangat berhutang budi pada kebersamaan dan persaudaraan yang kami miliki. Disitulah aku semakin mengerti peran vital agama sebagai senjata dan roh perjuangan hidup menuju kemenangan di akhirat kelak. Karena kebersamaan, aku “dituntut” untuk tampil menjadi sosok yang lebih populis namun agamis. Karena kebersamaan, aku pun dapat lebih jernih merancang gambaran masa depan yang kuinginkan. Dan karena kebersamaan, aku tidak merasa rendah diri meskipun terlahir sebagai anak desa, dalam arti yang sebenarnya. Yang kurasakan saat itu adalah begitu tebalnya keyakinan bhwa suatu saat Allah pasti memberiku pekerjaan, menunjukkan jalan hidupku selanjutnya. Sikap optimis ini telah terpatri di hati, sehingga kujalani kehidupan dari hari kehari tanpa sangsi, hingga akhirnya.. jadilah aku seorang diplomat yang berkesempatan menjalani penempatan di luar negeri.

Program Sekdilu yang kuikuti mulai awal 1990 hingga pertengahan 1991 menjadi tonggak baru, titik awal langkah hidupku selanjutnya setelah melewati ‘masa transisi’ selama di Semarang. Terus terang, sebenarnya cukup berat bagiku saat itu untuk meninggalkan Semarang, tempat “perjuangan”ku mengais hidup sejak lulus kuliah 3 tahun sebelumnya. Alhamdulillah.. karena kebersamaan dan keikhlasan, aku pun mampu bertahan tanpa harus mengandalkan bantuan orang tua di desa (Kebumen). Sejak lulus kuliah, tugas orang tua membiayaiku kunyatakan selesai, aku memutuskan untuk mandiri dari mereka sehingga masa-masa setelahnya adalah menjadi tanggung jawab pribadi.

Aku masih ingat, ketika selesai diwisuda sarjana FISIP-UNDIP (Oktober 1987) aku sempat pulang ke kampung beberapa bulan untuk sekedar “refreshing” bersama orang tua sambil memikirkan rencana ke depan untuk mendapatkan pekerjaan. Orang tuaku adalah pensiunan tentara rendahan dengan anak tujuh orang (saya anak sulung), yang akhirnya dapat menyekolahkan semua anaknya ke perguruan tinggi negeri (karena murah.?) dengan bermodalkan tekad dan pasrah kepada illahi. Dengan kondisi demikian, jelas tidak mungkin saya mengandalkan mereka untuk mencarikan pekerjaan. Akhirnya, saya putuskan untuk kembali ke Semarang, dengan modal “warisan” orang tua yaitu tekad dan pasrah.

Ketika saya pamitan, saya hanya dibekali uang transport Kebumen-Semarang dan makan harian selama seminggu. Selebihnya adalah do’a tulus Bapak dan Ibu yang berlinang air mata melepas kepergianku. Saya katakan, “Bapak, Ibu, kulo nyuwun pamit bade bidal dateng Semarang malih.. Saya harus segera mencari pekerjaan, entah apa pun, yang penting halal. Insya Allah disana banyak jalan dan teman, karena saya sudah kenal dengan lingkungannya. Mohon do’akan ya Bu, Pak, agar segera dapat pekerjaan dan semuanya lancar.”

Seperti biasa, Bapak saya lebih banyak diam, namun dari sorot matanya kulihat cerminan haru dan kekaguman dengan tekad saya. Ia hanya menunduk dan berkata, “Ya..ya.. Ko (panggilan kecilku adalah ‘Djoko’). Udah sana berangkat, Insya Allah kamu berhasil.” Adapun Ibuku, dengan berlinang air mata, kemudian berkata, “Yo wis, Ko. Kalo memang begitu tekadmu, Ibu ikhlas kamu kembali ke Semarang. Jangan lupa terus berdo’a minta pertolongan Allah. Tugasmu berat dalam keluarga, karena akan menjadi contoh adik-adikmu.. Ibu hanya bisa mendo’akan mudah-mudahan Allah selalu melindungimu. Ibu akan tetep berdo’a, shalat tahajud, shalat dhuha.. untuk anak-anakku agar sukses semua.”. Sejenak kami terdiam.. lalu Ibu melanjutkan,”Lha... terus.. nanti kamu di Semarang untuk makan sehari-hari bagaimana? Terus.. untuk bayar kost pake apa?”

Dengan mantap aku katakan,”Ibu dan Bapak mboten usah khawatir. Selama Allah masih mau memelihara saya, Allah tidak akan membiarkan saya, hamba-Nya, terlantar.!” Pernyataanku ini sebenarnya juga untuk menghibur diriku sendiri. Lalu ibuku tertegun, namun subhanallaah.. mendengar jawabanku, beliau jadi tambah mantap melepas kepergianku. “Yo wis kana, Ko. Ati-ati yo nang paran. Sing penting slamet, jangan bikin susah orang lain, jujur, amanah dan jangan ambil yang bukan hakmu. Bismillah.. ibu karo Bapak do’akan kamu sukses.”

Selama tiga tahun alhamdulillah saya ‘berhasil’ mandiri dengan berbagai kegiatan halal yang ada, setidaknya untuk makan sehari-hari dan bayar kost bulanan. Salah satu kegiatan saya adalah menulis aritkel mengenai masalah-masalah internasional untuk diterbitkan di media massa baik lokal maupun nasional. Tulilsan saya tidak selalu dimuat, tergantung sudut pandang pengurus redaksi bersangkutan. Tapi setiap tulisan dimuat, aku rasakan kepuasan tak terhingga, karena memperoleh uang honor yang lumayan untuk sekedar menyambung hidup dari hasil keringatku sendiri.

Selain itu, aku pun terlibat dengan kegiatan sebuah LSM yang melakukan banyak penelitian di daerah pedesaan Jawa Tengah. Bahkan, hingga hari-hari terakhir menjelang aku berangkat ke Jakarta untuk memulai hidup baru, saat itu aku masih bergabung dengan LSM tersebut yang tengah melakukan riset di daerah Kendal, Jawa Tengah. Tak lupa, untuk mengisi waktu dan menambah silaturahmi, aku bersama teman-teman ikut tergabung dalam ormas Islam (Ikatan Mahasiswa Muhammadyah-IMM dan HMI) meskipun sebagai anggota biasa. Prinsip saya sederhana sekali, yaitu firman Allah yang berbunyi: “Barang Siapa Menolong agama Allah, niscaya Allah pun akan memudahkan dan menolongmu”.

Tanpa terasa, semua itu terjadi 20 tahun yang lalu... waktu begitu cepat berlalu. Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa seorang anak desa, akhirnya mendapat pekerjaan di kota (Deplu Jakarta), dan berkesempatan di mutasi ke Perwakilan-Perwakilan RI di luar negeri dalam masa tugasnya.

------- Singapura, Juli 2009