ARTIKEL

Monday, August 3, 2009

SELAMATA JALAN.. DAVID..!

Setelah melalui serangkaian tahap persidangan yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 29 Juli 2009 lalu, Pengadilan Koroner Singapura memutuskan bahwa penyebab kematian David Hartanto Widjaja adalah bunuh diri (suicide).

Keputusan tersebut telah menuai tanggapan dari berbagai pihak, termasuk keluarga, yang antara lain menyatakan kekecewaan dan bahwa pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan dalam penanganan kasus kematiannya.

Sebagai salah seorang yang ikut menangani langsung kasus ini di KBRI Singapura, keputusan pengadilan (verdict) ini telah saya nantikan dengan perasaan was-was dan khawatir, karena beberapa alasan, yaitu :

Pertama, Sangat kuatnya arus spekulasi yang beredar di media Tanah Air sehingga berhasil menggiring opini publik bahwa kematian David bukan disebabkan bunuh diri melainkan dibunuh. Kuatnya spekulasi ini seperti tidak terbendung karena pemberitaan media massa sangat dominan bersumber hanya dari satu sisi.

Kedua, Opini tersebut terkesan tidak dapat mentolerir adanya kemungkinan lain yang patut diterima dan didengar sebagai bahan pertimbangan dalam suatu rangkaian kejadian yang tengah diproses di sebuah pengadilan.

Ketiga, menguatnya spekulasi sebagai pembentuk opini ini, tanpa disadari telah mengesampingkan fakta dan bukti dari para saksi, yang justeru menjadi petunjuk (clue) penting di pengadilan.

Membayangkan hal ini, ingatan saya pun lalu menerawang ke belakang, pada salah satu rangkaian proses pengadilan yang terjadi. Hari itu, tanggal 22 Mei 2006, saya bersama dua orang rekan dari KBRI Singapura, yaitu Yayan G. Mulyana dan seorang staf fungsi Konsuler, berada di kantor Pengadilan Singapura untuk mengikuti persidangan coroner (coroner inquiry) hari pertama terhadap kasus David Hartanto Widjaya.

Sidang coroner ini adalah bagian dari sistem hukum Singapura, merupakan tahap selanjutnya yang harus ditempuh terhadap kematian tidak wajar (unnatural death) yang menimpa seorang warga (asing), tanpa kecuali. Pengadilan ini, karenanya, bukan pengadilan istimewa yang digelar hanya terhadap kematian David, tetapi pengadilan standard yang harus dilakukan untuk mengungkap penyebab kematian tidak wajar seseorang.

Sesuai pemberitahuan resmi polisi Singapura kepada KBRI Singapura, pada tanggal 2 Maret 2009, David kedapatan jatuh dari ketinggian dan dinyatakan meninggal oleh tim medis yang segera datang memeriksanya. Kematian David dikategorikan unnatural death sehingga perlu sidang coroner untuk menentukan status penyebabnya.

Dari sidang ini, biasanya diputuskan status penyebab kematian yang berkisar pada tiga jenis, apakah karena bunuh diri, kecelakaan ataukah penyebab lain (open verdict). Terhadap sidang seperti ini, dari kami (KBRI) memang harus ada yang hadir, mewakili Pemerintah RI dan juga dalam rangka memberikan perlindungan dan bantuan terhadap WNI.

Sejak awal kami selalu terlibat, yaitu saat pertama kali menerima pemberitahuan dari polisi setempat tentang terjadinya kematian, menengok jenazah (baik saat masih di TKP maupun di kamar mayat (mortuary), hingga otopsi dan akhirnya masuk ke Sidang Coroner. Kami pula lah yang berkewajiban membantu menyelesaikan pengurusan jenazah hingga siap diterbangkan ke Tanah Air.

Dengan kata lain, sidang coroner ini bagaikan “makanan sehari-hari” bagi kami di Fungsi Konsuler KBRI Singapura, karena cukup banyaknya WNI yang meninggal secara tidak wajar (kebanyakan jatuh dari ketinggian). Tiap bulan hampir selalu ada yang meninggal, bahkan kadang setiap minggu.

Biasanya, kasus-kasus yang disidangkan pada Pengadilan Coroner adalah menyangkut status kematian seseorang yang telah terjadi 3-4 bulan sebelumnya. Hal ini wajar, karena polisi memerlukan waktu untuk melakukan investigasi seksama terhadap segala hal menyangkut penyebab kematian, untuk kemudian dibawa ke pengadilan coroner. Biasanya, sidang coroner ini berlangsung satu hari, atau paling lama dua hari.

Namun demikian, sidang coroner kali ini terasa agak lain. Pengadilan telah menjadwalkannya untuk beberapa hari, bahkan hampir dua minggu, disebabkan begitu banyaknya saksi yang perlu dihadirkan. Selain itu, menurut saya, juga karena pertimbangan sensitivitas kasus ini. Tidak seperti kasus kematian lainnya, kasus ini telah mendapat liputan luas dan gencar oleh media massa di Tanah Air dan menjadi sorotan publik. Gencarnya pemberitaan kasus ini, dalam pengamatan saya, lebih dominan bersumberkan pada keterangan pihak keluarga.

Sungguh ironis bahwa hari itu, yang mestinya menjadi hari “yang ditunggu-tunggu” untuk lebih mendapatkan klarifikasi mengenai duduk perkara kematian David di pengadilan, tidak ada media massa Indonesia yang meliput langsung di pengadilan. Padahal, dengan mengikuti secara langsung jalannya pengadilan koroner, akan didapatkan gambaran yang lebih mendalam dan kontekstual mengenai kasus kematian David. Demikian pula, nuansa kasus ini dalam perspektif sistem pengadilan di suatu negara maju dan berdaulat dapat lebih dirasakan.

Karenanya, saat itu saya menduga, apabila setelah sidang lalu pemberitaan media massa mengenai kasus David menjadi gencar lagi, tentunya akan tetap menampilkan versi dan ‘warna’ yang tidak berbeda, yaitu mengandalkan pada potongan-potongan informasi yang terpisah.

Memang ada seorang wartawan yang mengaku dari sebuah stasiun televisi Indonesia hadir disana, namun tidak mengikuti secara penuh jalannya sidang. Saya sempat bertanya, “Apakah sudah sering meliput kasus pengadilan di Singapura?”, yang lalu dijawab bahwa “Ini pertama kalinya saya melaksanakan tugas peliputan di Singapura”. Lalu saya bertanya lagi, “Kamu tahu enggak duduk perkaranya kasus David ini? Yah… paling tidak, sempat baca-baca background-nya lah?”

Dengan tegas ia pun menjawab bahwa tugas peliputan yang diberikan kepadanya bersifat ‘agak mendadak’ sehingga ia tidak sempat membaca mengenai kasusnya secara detil. “Yang saya tahu, pokoknya David itu punya suatu ‘penemuan’ penting.. lalu dibunuh. Begitu kan, Pak?” Katanya.

Pada sidang hari itu telah didengarkan kesaksian dari patologis, menjelaskan mengenai hasil otopsi dan luka-luka yang ditemukan di tubuh David. Selain itu, juga dihadirkan beberapa saksi yang masing-masing mengaku mengetahui menit-menit terakhir menjelang dan saat David jatuh dari ketinggian. Dari 20 orang saksi yang dihadirkan dan dimintai keterangan di hadapan majelis hakim, seluruhnya memberikan indikasi bahwa kematian David merupakan akibat tindakan bunuh diri (Secara luas dan terbuka, proses persidangan ini telah diberitakan di media massa Singapura, namun tidak di media Tanah Air).

Hal ini tentu saja berpotensi melahirkan kontradiksi mengingat opini di media massa Tanah Air sangat diwarnai arus spekulasi yang “menginginkan” status kematian David adalah akibat tindakan pembunuhan (criminals), dan bukan bunuh diri.

Sidang coroner tersebut akhirnya hanya berjalan selama 5 hari, setelah hakim menerima permintaan pihak keluarga David agar Sidang ditunda untuk memberi cukup waktu menghadirkan saksi-saksi yang dikehendaki pihak keluarga. Sidang berikutnya pun lalu dijadwalkan tanggal 17-19 Juni dan 24-25 Juni 2009, dengan harapan akan mendapatkan keputusan pengadilan yang lebih akurat.

Ketika tanggal 17 Juni 2009 pun akhirnya tiba, sidang telah dilanjutkan dengan menghadirkan saksi-saksi berikutnya yang telah dicatat dalam daftar saksi, termasuk dua orang saksi yang dihadirkan atas permintaan pihak keluarga. Dari laporan jalannya persidangan dan juga liputan media massa setempat, terdapat kesan semakin kuatnya indikasi bahwa kematian David adalah akibat bunuh diri. Hadirnya dua orang saksi (teman David) yang diusulkan pihak keluarga bahkan tidak memberi gambaran berarti mengenai motif kematian David, selain bahwa David digambarkan sebagai orang yang normal menjelang kematiannya, sementara saksi lainnya menggambarkan David sebagai seseorang yang tengah dirundung masalah, khususnya terkait dengan final year project.

Sementara sidang masih berlangsung, saya saat itu berandai-andai mengenai kemungkinan yang bakal terjadi. Bagaimana seandainya sidang coroner ini akhirnya memutuskan bahwa kematian David adalah akibat bunuh diri (suicide)? Sementara pihak keluarga David terkesan memiliki keyakinan kuat bahwa kematian David bukanlah karena bunuh diri melainkan pembunuhan (criminals). Yang terjadi kemudian, tentu saja, adalah ‘pertentangan' antara spekulasi dan fakta di pengadilan .

Yang saya tahu, spekulasi tidaklah mengenal batas, semua asumsi bisa dikembangkan dengan berbagai teori atau logika, sementara fakta tidak bisa demikian karena dibatasi oleh keadaan, waktu dan tempat sehingga sangat terikat pada kenyataan, bukan semata keyakinan dan perkiraan.

Namun untuk membuktikan keyakinan tersebut tentu saja bukan hal yang mudah. Sepanjang menyangkut hukum positif yang berlaku antar manusia di dunia yang fana ini, kekuatan bukti dan saksi menjadi penentu utama. Dalam konteks ini, sungguh tidak mudah bagi pihak keluarga David untuk meyakinkan pengadilan bahwa spekulasinya bisa dibuktikan. Semua saksi yang dihadirkan di persidangan, termasuk saksi dari pihak keluarga, cenderung sama mengungkap bahwa kematian David karena bunuh diri.

Hal yang menurut saya cukup berani adalah munculnya spekulasi bahwa “pembunuhan” David terjadi karena David diketahui sedang melakukan riset yang sangat luar biasa, menyangkut “penemuan” teknologi baru 3 dimensi yang super canggih. Spekulasi ini telah dibantah oleh pihak Nanyang Technological University (NTU) yang menyatakan bahwa :

“As to thespeculation on the “technology created by David” the university did not receive any information from David or any other sources about it. As far as we know, no such claim exists. David's first three semesters exam results were good enough (above 3.5 in Grade Point Average (GPA)) to get his scholarship renewed. He did not obtain the requisite "above 3.5 GPA" scorein the subsequent 4 semesters and was given 3 letters urging him to improve and to seek help before his scholarship was terminated. He had also not been coping well with his Final Year Project. His overall GPA has been above 3.0 which would have qualified him to graduate with a 3rd Class Honours if he were to maintain his performance.”

(Terhadap adanya spekulasi mengenai “penemuan teknologi oleh David”, pihak Universitas tidak mengetahui mengenai hal itu dari David ataupun dari sumber-sumber lain. Sejauh yang kami ketahui, tidak ada pengakuan mengenai hal itu. Hasil ujian David pada 3 semester awal cukup baik (di atas 3,5 GPA) sehingga beasiswanya dapat dilanjutkan. Namun, ia gagal mencapai nilai rata-rata “di atas 3,5” tersebut pada 4 semester sesudahnya, dan karenanya telah diberikan 3 surat peringatan agar memperbaiki nilanya dan meminta bantuan sebelum beasiswanya dihentikan. Ia juga tidak berhasil dalam mengerjakan Tugas Akhirnya. Nilai rata-rata yang diraihnya di atas 3,0 sehingga hanya bisa lulus dengan predikat “3rd Class Honour” bila tetap bertahan dengan nilai tersebut.)

Proyek yang dilakukan David dibawah bimbingan Prof. Chan merupakan proyek bersama dengan dua orang siswa lainnya. Hasil seutuhnya dari proyek tersebut akan menjadi milik NTU sebagai partial requirement untuk menyelesaikan program S1 dari siswa terkait. Sementara David tidak dapat menyelesaikan bagian dari proyek kelompok tersebut, kedua siswa lainnya berhasil menyelesaikannya, termasuk dengan penyusunan final year project-nya.

Perasaan was-was saya masih berlanjut hingga kini, mengingat bahwa keputusan akhir dari Pengadilan Coroner tersebut terbukti bukan akhir dari sebuah proses pencarian kebenaran. Sejauh menyangkut pengadilan dunia, kebenaran memang terhampar dengan berbagai versi. Meski demikian, sepatutnyalah bahwa sebuah permasalahan dipandang tidak hanya dari satu sisi, namun dari berbagai sudut pandang agar didapatkan “kebenaran” yang lebih proporsional.

Sebagai staf KBRI, saya dan teman-teman telah mencoba menjalankan tugas semaksimal mungkin dalam memfasilitasi dan memberikan perlindungan dan bantuan hukum bagi WNI yang bermasalah, termasuk dalam kasus David. Kami semua sangat bersimpati dan menyesalkan peristiwa kematian David, dan sungguh dapat membayangkan perasaan pihak keluarga yang ditinggalkan. Lebih lagi, peristiwa itu terjadi di negara lain, bukan di negeri sendiri.

Ketika sebuah kasus terjadi bukan di negeri sendiri, maka memang terbuka peluang untuk lebih berspekulasi. Sementara kami sendiri pun dalam melaksanakan tugas dibatasi oleh aturan dan tata krama internasional, ketika berhadapan dengan dan menyangkut kedaulatan ataupun sistem peradilan negara lain.

Selamat Jalan David..! Semoga beristirahat di tempat yang Damai..!

-----------------------------------

Achmad Djatmiko

Singapura, 1 Agustus 2009

----------------------------------